Beberapa tahun saya pernah ditugaskan
sebagai redaktur halaman opini Koran harian daerah. Salah satu tugasnya, mensortir
artikel yang masuk untuk diterbitkan di halaman opini esok hari.
Banyak sekali artikel kiriman dari para
pembca dengan berbagai latar belakang profesi dan pendidikan. Tulisan mereka seputar
masalah terkait profesinya, baik para guru, dosen, aktifis LSM hingga pengurus
parpol atau para mahasiswa.
Ilustrasi |
Artikel juga dikirm oleh penulis pemula hingga penulis kawakan bahkan pengarang buku. Bagi tulisan para ahli, semisal pengamat politik, sosial ekonomi, dalam gagasan atau kalimat yang tersusun sudah berbentuk. Untuk tulisan seperti ini, kerja sangat ringan, paling tidak hanya mengganti judul atau mengecek huruf bila ada yang salah ketik.
Yang agak sulit, bila tulisan dari penulis pemula. Rata-rata tulisan sangat panjang, ide menggebu-gebu juga artikulasi kalimat tidak jelas. Tema tidak fokus, terlalu global bahkan ngambang.
Penulis pemula juga sering tidak sabar
dalam mengurai gagasan. Dalam satu alinea misalnya, dijejali segudang ide
hingga tak jelas mana ide pokok dan mana ide tambahan.
Kecenderungan tulisan opini di Koran, sangat cair, serta menggunakan bahasa popular. Tidak banyak kata-kata ilmiah, kalaupun terpaksa harus masuk, dibuat sesederhana mungkin supaya semua pembaca dapat memahaminya.
Para pembaca terdiri dari berbagai kalangan, mulai orang tak sekolah hingga pendidikan profesor. Dalam pekerjaan pun demikian, mulai tukang becak hingga para peneliti.
Maka tidak baik juga kalau opini atau berita hanya memahamkan beberapa segelintir orang. Terkecuali jika Koran atau majalah bersangkutan segmentasi pasarnya untuk kalangan tertentu dan yang lain diabaikan.
Koran tempat bekerja saya saat itu, Koran umum dengan pembaca berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan berbeda. Jika artikel kiriman pembaca berbelit-belit, sulit dipahami lebih baik saya buang ke tong sampah, meski gagasannya terkesan hebat.
Banyak faktor tulisan sulit dipahami. Pertama, bisa jadi si penulis belum memahmi apa yang ingin dia tulis. Hal itu berdampak pada artikulasi kalimat yang ngambang dan membosankan.
Kedua, bisa jadi si penulis ahli dalam
bidang yang ditulisnya hanya saja ia masih kesulitan dalam membuat kalimat.
Tidak sedikit pengirim opini bergelar sarajana, atau doktor tetapi tulisannya acak-acakan. Kalau melihat gelar si pengirim tulisan, saya kadang mencoba mengedit ulang hingga tulisan enak dibaca, minimal gagasan penulis tersampaikan. Itupun saya lakukan jika sedang waktu luang, mengingat bekerja di Koran selalu berhadapan dengan deadline
Ketiga, banyak penulis yang terlalu membebani diri dengan ekspektasi hasil tulisan harus hebat bahkan menggemparkan. Akibatnya, tulisan dijejali data yang kurang relevan dengan isi tulisan atau memaksakan istilah yang mereka temukan supaya terkesan berbobot dan ilmiah.
Kalau kita membaca karya tulis orang-orang terkenal seperti cendikiawan (alm) Nurcholis Madjid (Cak Nur), Amin Rais, Dawan Raharjo, Syafii Maarif, Komaruddin Hidayat dan Azjumardi Azra, tulisan mereka ringan namun mendalam. Kalimat yang digunakan sangat sederhana dan mudah dipahami.
Dalam hal inilah pentingnya berlatih bagi para penulis. Keahlian menulis ibarat bersepeda atau belajar mengoperasikan komputer. Sehabat apapun teori bersepeda, sehafal apapun istilah komputer, kalau tidak langsung praktik rasanya sulit untuk bisa. Dengan demikian, tulisan rumit belum tentu berkualitas juga sebaliknya, belum tentu tulisan berkualitas rumit dibaca.
Rasanya para blogger sudah biasa dengan
membuat tulisan ringan dan isi tulisan berdasarakan pengalaman dan keahlian masing-masing.
(*)
0 komentar:
Posting Komentar